Bandung Selatan identik
dengan Ciwidey atau Pengalengan. Namun, jika mau sedikit tantangan,
cobalah Gunung Puntang. Objek wisata yang berlokasi di daerah Banjaran
ini menyajikan wanawisata yang masih alami dan sejarah radio pemancar
milik Belanda.
Objek wisata Gunung Puntang berada di komplek Gunung
Malabar, dengan ketinggian sekitar 1.300 m di atas permukaan laut dan
suhu berkisar antara 18o - 23o C . Berdasarkan
cerita rakyat Pasundan yang berkembang di masyarakat, di sini dulunya
terdapat suatu kerajaan yang disebut Nagara Puntang. Di beberapa tempat
ditemukan batu-batu yang diduga ada kaitannya dengan peninggalan sejarah
Gunung Puntang seperti batu korsi, batu kaca-kaca, dan batu kampaan.
Alam memang menjadi jualan utama di Gunung Puntang. Ada
areal perkemahan yang datar dan sudah dilengkapi dengan fasilitas
mandi-cuci-kakus; juga warung bertebaran di seputar areal perkemahan.
Mau jalan-jalan di hutan? Bisa coba ke Curug Siliwangi. Atau sekadar
menikmati hawa segar pegunungan sambil main air sungai yang dingin
boleh juga. Jika sudah mampir ke sini cobalah menu yang mungkin jarang
Anda temui: roti tawar goreng! Tadinya saya mengira makanan berbentuk
kotak dan terbungkus adonan itu tempe goreng. Namun setelah dimakan baru
tahu, ternyata ini roti tawar yang diperlakukan bak tempe. Dimakan
panas-panas di pagi yang dingin sungguh nikmat sekali.
Tapi yang membawaku ke sini adalah situs peninggalan
Belanda berupa pemancar radio. Tahun 1923 di sini dibangun Stasiun
Pemancar Radio Malabar. Perintisnya adalah Dr. de Groot. Pemancar radio
ini sangat fenomenal, bahkan untuk ukuran saat ini. Bayangkan saja
antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2
km, membentang di antara Gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian
dari dasar lembah mencapai 500 m. Bagaimana mereka membangun konstruksi
seperti itu dengan teknologi yang ada pada masa tersebut menjadi tanya
yang menggelitik.
Pada bagian dasar lembah, dibangunlah sebuah stasiun
pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak
sekitar 12.000 km. Daerah ini dipilih karena arah propagasi struktur
antena tersebut memang menuju negara Kincir Angin tersebut; selain
tempatnya cukup tersembunyi.
Stasiun ini menjadi unik sebab murni pemancar, sedangkan
penerimanya ada di Padalarang (15 km) dan Rancaekek (18 km). Karena
teknologinya masih boros energi, dibangunlah pembangkit listrik tenaga
air (PLTA) di Dago dan Pengalengan, serta PLTU di Dayeuhkolot - lengkap
dengan jaringan distribusinya - hanya untuk memenuhi kebutuhan si
pemancar. Pemancar ini memang masih menggunakan teknologi kuno yang
boros energi, yaitu busur listrik (poulsen) untuk membangkitkan ribuan
kilowatt gelombang radio dengan panjang gelombang 20 - 7,5 km.
Sayangnya, bangunan-bangunan itu tinggal puing-puingnya
saja. Hanya tersisa beberapa potong tembok saja karena struktur
bangunannya terbuat dari separoh kayu dan separuh tembok. Sisa bangunan
yang masih terlihat utuh adalah Kolam Cinta, begitu papan petunjuk
menyebutnya. Bentuknya memang seperti hati, dengan undak-undakan untuk
masuk kolam ada di bagian atas. Ada kepercayaan masyarakat setempat,
jika pasangan yang mencuci muka atau mandi di kolam ini akan langgeng
hubungan mereka. Saya hanya tersenyum simpul mendengar soal itu. La
bagaimana, wong saat itu airnya tidak ada hehe...
Di areal ini pula terlihat sisa-sisa perkampungan
(Kampung Radio - Radio Dorf) yang dihuni awak stasiun pemancar dengan
segala fasilitasnya, seperti lapangan tenis, rumah dinas petugas,bahkan
gedung bioskop. Lokasi perkampungan ini sekarang ditempati bumi
perkemahan Gunung Puntang.
Tak jauh dari bumi perkemahan ada Gua Belanda. Gua ini
bisa ditelusuri dengan mudah, meskipun cenderung becek pada lantainya.
Mulut gua ini cukup tersembunyi, di antara lekukan tanah yang bila
diperhatikan secara sekilas mirip wajah harimau. Tinggi lorong sekitar
170-an cm sehingga tidak begitu leluasa menelusuri sebab harus agak
menunduk. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, ujung lorong gua
akan menuju ke sebuah curug, yakni Curug Siliwangi. Tambahan dari cerita
itu, barang siapa berhasil menyusuri lorong sejauh sekitar 1 km itu
dan sampai ke Curug Siliwangi akan mendapatkan sesuatu yang merupakan
peninggalan Prabu Siliwangi. Namun, untuk yang ini belum ada buktinya.
Saya pas ke gua ini hanya mampu menyusuri sejauh 100-an m karena hanya
mengandalkan senter dari ponsel.
Untuk mencapai Gunung Puntang, dari Bandung bisa
melalui dua jalur: dari Soreang atau dari Banjaran. Dari Soreang ambil
ke kiri arah Pengalengan dan nanti ada petunjuknya untuk berbelok
kanan. Pada bulan Agustus jalanan ini sedang dibeton sehingga beberapa
ruas macet. Sementara kalau lewat Banjaran relatif bagus jalannya namun
akan terhadang kemacetan pasar. Selepas Pasar Banjaran nanti bertemu
dengan pertigaan dan ambil jalan yang ke kiri. Dari belokan ini, sekitar
5 km kemudian bertemu dengan pertigaan, ambil yang mengarah ke atas.
Atau perhatikan papan petunjuk Taman Bougenville.
Taman Bougenville ini letaknya berbatasan dengan
wanawisata Gunung Puntang. Mengaku sebagai resort rekreasi alam
Pegunungan Bandung Selatan, Taman Bougenville bisa dijadikan tempat
menginap yang layak jika tidak mau berkemah di Gunung Puntang.
Wanawisata Gunung Puntang sendiri juga menyewakan cottage tapi
fasilitasnya minim. Sementara Taman Bougenville yang dilewati aliran
Sungai Cigeureuh memiliki fasilitas "mewah" seperti dua buah kolam
renang yang airnya berasal dari sungai, taman yang asri, dan empat buah
vila yang masing-masing berkapasitas sampai dengan 20 orang. Ongkos
sewanya berkisar di angka Rp 750 ribu. Fasilitas lain ada restoran
Waroeng Goenoeng, taman bermain anak, lapangan volley, serta flying fox.